
Gambar 1: Pojok Renungan Harian Penyuluh Agama Katolik
Beberapa waktu yang lalu ketika saya mengikuti Ibadat Ekumene Syukuran Pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sumba Tengah, ada sebuah penggalan menarik yang disampaikan Pendeta dalam khotbahnya. Penggalan tersebut berbunyi demikian, “Kita belum tahu arti memaafkan yang sesungguhnya apabila orang lain tidak mengkhianati kita, kita tidak tahu arti berserah diri apabila orang tidak berpaling dan meninggalkan kita, kita tidak tahu arti mencintai apabila orang tidak memusuhi kita, kita belum tahu arti syukur yang sebenarnya tatkala kita tidak memberi ruang bagi penyelenggaraan Tuhan dalam hidup kita.”
Ajaran untuk mengasihi dan memaafkan sesama tentu bukanlah hal yang asing dalam pengalaman kita sebagai umat Kristiani. Ciri khas spiritualitas kekristenan adalah mengasihi Tuhan, sesama, dan seluruh ciptaan. Kendatipun demikian, dorongan untuk mengasihi sering kali mengalami tantangan saat mencapai tapal batasnya (dead lock), tatkala seseorang berhadapan dengan sesama yang dilihat sebagai musuh, pengkhianat, dan penjahat.
Dalam warta Injil suci hari ini, Yesus mengajarkan kepada kita sebuah disposisi iman yang berharga perihal kasih. Tuhan Yesus sadar bahwa praktik mengasihi yang dijalankan umat pada masa itu masih mengandung kelemahan sekaligus contradictio in terminis. Ajaran untuk mengasihi sesama dan membenci musuh sudah tentu bertentangan dengan kaidah kasih yang tidak pandang bulu atau dibatasi kategori-kategori tertentu. Imperatif kategoris kasih justru mengalami kepenuhan ketika seseorang mampu mengasihi dan mendoakan sesamanya yang bahkan telah berbuat jahat.
Bagaimanapun juga, sebagai manusia yang lemah tentu tidak mudah bagi kita berdoa bagi seseorang yang telah menyakiti kita. Terutama ketika kita telah berperilaku baik dan sering menolong orang tersebut. Sering kali terjadi, konflik yang berlangsung dalam keluarga, masyarakat, maupun komunitas-komunitas lainnya tak kunjung terselesaikan akibat permusuhan, kebencian, dan kecurigaan yang berlarut-larut. Ada peristiwa ‘kematian kasih dan sikap saling memaafkan’ ketika hubungan manusia dicekoki konflik dan permusuhan.
Lantas, apakah mustahil membayangkan kasih dan perdamaian ketika manusia sudah dikuasai kebencian dan permusuhan? Sebagai manusia biasa yang bisa saja dikuasai sentimen atau emosi reaksioner, jawaban kita mungkin saja mengiyakan pertanyaan retoris tersebut. Namun, konteks jawabannya akan berbeda tatkala kita sebagai umat Kristiani senantiasa menyertakan Tuhan dalam persoalan kehidupan kita. Tuhan Yesus bahkan menyerukan perintah yang cukup tegas terkait kasih dan sikap memaafkan di mana manusia harus menjadi sempurna sebagaimana Bapa di surga. Perintah Yesus ini tentu tidak menjadi sebuah tugas mustahil bagi manusia. Menjadi sempurna sama seperti Allah berarti manusia mau dibimbing oleh Allah serta berjuang dan berusaha menjadi kudus seperti Allah.
Tatkala seseorang memberi diri bagi bimbingan Tuhan, ajaran cinta kasih yang tampak sulit untuk dilaksanakan dapat menjadi sebuah keniscayaan. Seorang yang dekat dengan Tuhan akan selalu bersyukur atas berkat dan pengalaman yang dialami dalam kehidupan. Ketika ia dilanda konflik atau perseteruan, maka tindakan pertama yang dilakukan adalah berserah diri dan memohon ampun kepada Tuhan, membawa sesama yang membenci atau berbuat jahat atasnya dalam intensi doa, sekaligus membuka hati bagi perdamaian. “Kasihilah musuhmu sebagaimana Engkau mengasihi dirimu sendiri” bukanlah sebuah misi yang mustahil tatkala kita memberi diri bagi bimbingan dan penyertaan Tuhan.
Semoga berkenan.